Songfiction: Speechless


Here comes a wave meant to wash me away 
A tide that is taking me under 
Swallowed in sand
Left with nothing to say 
My voice drowned out in the thunder

Aku menatap nanar ayah dan ibuku. Aku tak percaya dengan apa yang mereka lakukan. Dengan penuh kepuasan, mereka berdiri dan memegang formulir pendaftaran lombaku yang telah terbelah dua. Seolah mereka bangga dengan keberhasilannya meruntuhkan mimpi yang hampir kurealisasikan itu.

"Semoga kamu belajar. Kalau kamu nggak bakal dapat apa-apa kalau menentang kami--orang tuamu. Fokus saja pada pelajaranmu supaya kamu bisa diterima di kedokteran nantinya."

Mereka pergi berselimutkan keangkuhan. Sedangkan aku, hanya membungkam. Meringis pedih dalam hati tanpa bisa menyuarakannya pada takdir yang membelenggu jati diri.

But I won't cry 
And I won't start to crumble 
Whenever they try 
To shut me or cut me down 

Aku mengetik barisan kata yang tergambar di otakku dengan cepat. Tentunya aku tidak ingin membuat tagihan warnetnya semakin membengkak dan aku juga tidak ingin membuat ayah dan ibuku curiga bila aku pulang terlalu petang. Ya, walaupun mungkin saja mereka masih sibuk dengan pasien yang mengantre untuk diobati, tetap saja aku harus berhati-hati agar kejadian kemarin tidak terulang lagi.

Setelah merenungkan semuanya, aku memutuskan untuk terus menulis. Aku juga memutuskan tetap mengikuti perlombaan ini dengan atau tanpa izin mereka. Aku tidak peduli apa lagi hukuman yang akan mereka jatuhkan padaku bila mereka tahu aku membangkang. Mungkin saja, setelah menyita smartphone dan laptop, mereka akan menyita flashdisk-ku ini. Tapi maaf saja. Apapun yang mereka lakukan, aku takkan pernah membiarkan mimpiku runtuh begitu saja.

Karena aku adalah aku. Ragaku dan jiwaku adalah milikku. Selagi aku benar, maka mereka tidak berhak mendikteku untuk mengikuti ego mereka. Akulah yang berhak menentukan hidupku akan bagaimana nantinya dan sekali lagi, bukan mereka.

I won't be silenced 
You can't keep me quiet 
Won't tremble when you try it 
All I know is I won't go speechless

"Maaf, Rara. Orang tuamu meminta kami untuk tidak mengikutkanmu dalam lomba ini. Sekali lagi kami minta maaf."

Aku terperangah mendengar pernyataan yang keluar dari mulut pembimbingku. Mereka sebelumnya memintaku mengikuti lomba ini dan hanya karena permintaan orang tuaku, mereka langsung membatalkannya begitu saja. Tanpa peduli bagaimana perasaanku ketika mimpi yang kembali kubangun akan mereka hancurkan lagi 'tuk kesekian kalinya.

"Pak, saya mohon bantu saya. Saya sudah susah payah membuatnya. Tolong, Pak. Tolong bantu saya," lirihku. Kulihat Pak Satya menarik napas panjang. Sepertinya, ini juga keputusan yang berat baginya

"Tapi orang tuamu langsung menelepon kepala sekolah, Rara. Sekarang bapak yang disalahkan."

Aku seharusnya sudah menduga hal ini melihat betapa antusiasnya mereka melarang tiga hari lalu.

"Kalau begitu, Bapak mau membantu saya bicara dengan kepala sekolah?"

Pak Satya terlihat tengah mempertimbangkan permintaanku tadi. Aku menunggu dengan sabar dan membiarkannya memikirkan permintaanku dengan matang.

Ketika ia mengiyakan permintaanku. Aku langsung kegirangan dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Aku benar-benar takkan pernah melupakan jasanya padaku.

Tekadku semakin mantap. Aku takkan membiarkan mulutku terbungkam. Aku takkan biarkan tanganku terbelenggu ego mereka. Karena aku adalah makhluk yang bebas.

Let the storm in 
I cannot be broken 
No, I won't live unspoken 
Cause I know that I won't go speechless 

"Apa maksudnya ini!"

Aku menatap layar smartphone-ku yang menampilkan bukti keikutsertaanku dalam lomba jurnalistik. Sudah kuduga, cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya mengingat mereka masih menyita smartphone-ku yang malang.

"Aku ikut lomba itu," kataku--yang mencoba-- berani. Kulihat wajah Ayah mulai memerah.

"Ayah tidak pernah mengizinkanmu ikut serta! Ayah sudah bilang sama kepala sekolah! Apa-apaan ini, Rara!" katanya, marah.

Kutarik napasku dalam. Ayo, Rara, semangat! Jangan mau terus-terusan diam. Batinku menyemangati mentalku yang tak terlatih membangkang.

"Rara minta sama kepsek buat ngizinan. Ayah gak bisa ngelarang Rara dalam hal ini. Ini pilihan, Rara. Rara nggak mau jadi dokter." Kulihat Ayah mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarahnya. Ibu yang menyadari emosi Ayah yang makin membara, mencoba untuk menengahi pertikaian kami.

"Sudahlah, Mas. Paling juga nanti dia nggak menang. Lagian Rara 'kan butuh biaya untuk masuk universitas." Mendengarnya, aku tertawa dalam hati. Mereka tidak tahu kalau aku mengikuti lomba ini, itu akan membuka peluangku memperoleh beasiswa dalam bidang jurnalistik.

"Kamu Ayah hukum tidak boleh keluar rumah! Ayah bakal nyuruh orang buat antar jemput kamu ke sekolah!"

Aku sudah siap membuka mulut untuk memprotes Ayah sebelum Ibu menarik tanganku dan menuntunku ke kamar.

"Lebih baik kamu jangan memancing emosi ayahmu lagi. Itu tidak baik. Ibu bakal bantu bicara sama Ayah," bisiknya yang membuatku terperangah. Aku tidak pernah menduga kalau Ibu akan berbalik mendukungku seperti ini.


Try to lock me in this cage 
I won't just lay me down and die 
I will take these broken wings 
And watch me burn across the sky 
Hear the echo saying

Sudah berhari-hari Ayah mendiamkanku. Aku sudah tahu dari awal bahwa apa yang aku lakukan, tentu ada konsekuensinya. Aku masih ingat, bulan lalu aku masihlah putri Ayah yang penurut. Semua perintahnya selalu aku penuhi dan semua permintaanku pun selalu ia penuhi.

Tetapi sekarang aku sadar.

Menuruti semua yang orang tuaku inginkan tidak menjamin kebahagiaanku. Tiap kali aku menuruti perintah mereka yang bertentangan dengan keinginanku, aku merasa kosong. Aku merasa bahwa ini bukanlah diriku. Aku merasa bahwa aku terkurung di sebuah tempat dan tempat itu tak pernah mengizinkanku menemukan jati diriku.

Jujur saja, itu membuatku terpuruk.

Karenanya aku putuskan untuk menolak keinginan mereka untuk kali ini.

Aku yakin, cepat atau lambat Ayah pasti mau mengerti seperti Ibu.

Aku yakin, setelah aku bisa membuktikan bahwa aku bisa sukses tanpa melewati jalan yang mereka inginkan, mereka akan berbalik mendukungku.

Cause I'll breathe 
When they try to suffocate me 
Don't you underestimate me 
Cause I know that I won't go speechless 
All I know is I won't go speechless

Hari ini ada pegawai pos yang mampir ke rumahku. Ia mengantarkan satu surat yang menyatakan bahwa aku lolos ke tahap dua perlombaan.

Saking tidak percayanya, berulang kali aku cek kata per kata dalam surat. Aku benar-benar bahagia. Satu anak tangga telah berhasil kunaiki, dan aku harap mimpiku semakin dekat 'tuk kugapai.

Aku benar-benar-benar bersyukur. Mengingat hari ini Ayah tidak ada di rumah karena kesibukannya, sehingga surat ini tidak perlu tersobek karena kemarahannya.

Masalahnya adalah nanti ketika Ayah pulang. Aku seratus persen yakin ayah akan marah.

Aku menarik napas panjang.

Tak apalah.

Untuk masalah nanti, biarlah aku yang menghadapi. Karena aku telah berjanji untuk tak kembali berdiam diri.


Selesai


Catatan:
Fiksi ini dibuat berdasarkan lagu Naomi Scott yang berjudul Speechless.


Lagu bisa didengar di: Youtube
Lirik oleh: Sanderlei

Komentar

Posting Komentar

Yuk, Kepoin yang Lain!

Review: Emina Bright Stuff Moisturizing Cream

[Puisi] Perasaanku yang Bisu

Buat Kamu yang Masih Bingung Dengan Cita-Citamu

5 Aplikasi Gratis Buat Kamu yang Hobi Baca!

Musikalisasi Puisi (Ada contohnya, guys!)

Moci, Tahu Aci, dan Tari Endel Sebagai Budaya Asli Tegal

[ARTIKEL] PROBLEMATIK SISTEM RANKING DI SEKOLAH

[REVIEW] Alasan Kamu Harus Nonton Howl's Moving Castle!

[ARTIKEL] REVIEW NIVEA STRAWBERRY SHINE