[ARTIKEL] Kenapa Kamu Harus Mendukung Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021!

Warning! 
Sebelum mulai berkomentar, mohon baca dulu sampai selesai!

    Jujur penulis sebenarnya enggan menulis hal semacam ini di blog Fitristarius karena tema blog ini adalah soal remaja. Namun agaknya penulis sudah mulai kesal dan jengah melihat seluruh perdebatan yang ada di media sosial tentang Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

    Permendikbud No.30 Tahun 2021 adalah aturan yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dalam rangka mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual yang ada lingkungan perguruang tinggi. Aturan ini ditetapkan oleh Menteri Nadiem Makarim pada tanggal 31 Agustus 2021 di Jakarta. Peraturan ini dianggap angin segar bagi banyak orang mengingat kasus pelecehan di lingkungan kampus marak terjadi, sedangkan regulasi perlindungan korban tidaklah jelas.

    Bisa jadi ada dari kalian yang tidak percaya bahwa lingkungan kampus bisa menjadi tempat yang tidak aman bagi banyak orang. Mengingat lingkungan kampus diisi oleh banyak civitas akademika yang pastinya terpelajar. Tetapi pada kenyataannya, beberapa kampus memang bukan ruang aman bagi sebagian orang. 

    Mari kita mengingat kembali tahun 2019. Pada tahun itu, beberapa media, yaitu Tirto, VICE Indonesia, Jakarta Post, dan BBC Indonesia, melakukan kolaborasi untuk membuat liputan berjudul #NamaBaikKampus. Dilansir dari Tirto, Liputan ini mengulik dan mengupas berbagai dugaan kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Tak tanggung-tanggung, liputan ini berhasil mengumpulkan testimoni dari 174 penyintas dari 79 kampus berbeda, baik swasta atau negeri, yang berasal dari 29 kota berbeda di Indonesia. Hasilnya? Banyak sekali dugaan kasus pelecehan seksual yang terjadi yang tak terungkap karena korban ditekan oleh pihak kampus untuk bungkam. Alasannya tak lain dan tak bukan demi nama baik kampus.

    Contoh kasusnya bisa dicek di artikel yang dikeluarkan oleh Vice Indonesia berikut: Nama Baik Kampus: Dosen Mesum Sulit Dipecat, Tak Ada Sistem Pelaporan Korban Kekerasan Seksual

    Masih merasa tidak cukup karena menganggap bahwa itu kasus lama? Belakangan ini terjadi dugaan pelecehan seksual di kampus UR. Korban mengalami pelecahan seksual saat sedang melakukan bimbingan di wilayah kampus. Pelaku meminta mencium bibir korban. Pedihnya, saat korban melapor ke seorang dosen, dosen tersebut malah menekannya untuk diam. Hal yang sama terjadi ketika korban memutuskan untuk melapor ke ketua jurusan. Bahkan ketika korban menceritakan kejadiannya di depan ketua jurusan, korban ditertawakan oleh ketua jurusan dan dosen tersebut. Karena hal ini, korban sampai harus speak up di sosial media yang mana berisiko terkena pasal karet UU ITE. 

    Penulis ketika menonton kesaksian korban merasa sedih dan miris. Korban sampai membahayakan dirinya sendiri hanya demi keadilan yang mestinya berhak ia dapatkan. Tidak jelasnya regulasi perlindungan korban membuat banyak korban bungkam dan yang speak up pun dibayang-bayangi oleh UU ITE. Karenanya ketika Permendikbud No.30 Tahun 2021 ditetapkan, penulis turut merasa senang dan bahagia. Walau hanya berlaku di perguruan tinggi, tetapi jelas peraturan ini dibuat dengan cepat dan bukan sekadar wacana saja. Tidak seperti RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang tak kunjung dibahas dan dilegalkan.

    Nah, sekarang mari kita bahas kontroversi yang ada soal Permedikbud No.30 Tahun 2021. Belakangan banyak yang ribut dan tidak setuju karena Permendikbud No.30 Tahun 2021 dianggap melegalkan zina atau seks bebas. Seluruh bagian yang dikritik adalah bagian yang mengandung kalimat "tanpa persetujuan korban".

Berikut penulis sertakan pasal-pasal yang dimaksud beserta isinya:

Pasal 5 ayat (2) 
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; 
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; 
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; 

m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

    Setelah melihat isi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, beberapa masyarakat mulai menuding Menteri Pendidikan tidak agamis, mendukung perzinaan, dan mereka membawa ayat-ayat suci untuk mendukung gagasannya. Tetapi menurut penulis sendiri ini adalah salah paham.

    Kenapa semua peraturan ditulis dengan kalimat menurut persetujuan korban? Karena ini adalah aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Bukan aturan yang mengatur tentang norma-norma yang berlaku di masyarakat soal tindakan asusila. Penulis sendiri melihat bahwa untuk aturan semacam ini, terkait perzinaan di lingkungan kampus, biasanya diatur dalam kode etik mahasiswa. 

    Selanjutnya, kenapa sih peraturan ini dibuat dengan menambahkan kalimat "tanpa persetujuan korban"? Tujuannya agar regulasinya jelas dan tidak berakhir menjadi pasal karet. Pasal yang tidak jelas berisiko menjadi pasal karet, yang mana bisa menjadi boomerang untuk korban seperti UU ITE. Jika tidak ditambahkan kalimat "tanpa persetujuan korban", maka peraturan ini berisiko untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Misal, ada pasangan A dan B. A dan B melakukan tindakan asusila di lingkungan kampus atas dasar suka sama suka. Lantas terjadi konflik sehingga menyebabkan A memutuskan B. Karena tidak terima diputuskan, B melaporkan A atas dasar kasus pemerkosaan di kampus, lalu A dijatuhi hukuman oleh kampus. Hal ini jelas tidak adil bagi A karena A tidak salah. A tidak salah dimata hukum, namun salah di mata Tuhan. Maka bila dihukum harusnya B juga dihukum karena mereka berdua jelas telah mencederai kode etik mahasiswa. Mereka berdua juga kongkalingkong untuk mengejar kenikmatan sesaat dan melawan aturan yang maha kuasa. Karenanya penting untuk memperjelas suatu pasal agar tidak ada oknum-oknum seperti A dan B.

    Lantas berarti pasal ini bisa menjadi boomerang untuk korban kekerasan seksual yang sesungguhnya, dong? Awalnya penulis juga berpikir begitu, tetapi setelah penulis membaca Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, penulis menemukan pasal 5 ayat (3). Pasal ini menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan persetujuan korban, sehingga memperjelas frasa tersebut. Pasal ini bisa mencegah pelaku kekerasan seksual menuding korban melakukan kegiatan atas dasar suka sama suka. Berikut penulis sertakan isi pasal 5 ayat (3):

    Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; 

c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; 
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; 

e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; 

f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau g. mengalami kondisi terguncang.

    Karena berbagai alasan tersebut, penulis memutuskan untuk mendukung adanya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Korban kekerasan seksual di kampus membutuhkan regulasi yang jelas untuk melindungi diri mereka. Dengan adanya Permendikbud ini, penulis berharap korban-korban pelecehan seksual tidak lagi terbungkam dan dapat mendapat keadilan. Pelaku harus dihukum sesuai perilakunya. Jangan biarkan pelaku berkeliaran dengan bebas di lingkungan kampus!

Komentar

Yuk, Kepoin yang Lain!

Review: Emina Bright Stuff Moisturizing Cream

[Puisi] Perasaanku yang Bisu

Buat Kamu yang Masih Bingung Dengan Cita-Citamu

5 Aplikasi Gratis Buat Kamu yang Hobi Baca!

Musikalisasi Puisi (Ada contohnya, guys!)

Moci, Tahu Aci, dan Tari Endel Sebagai Budaya Asli Tegal

[ARTIKEL] PROBLEMATIK SISTEM RANKING DI SEKOLAH

[REVIEW] Alasan Kamu Harus Nonton Howl's Moving Castle!

[ARTIKEL] REVIEW NIVEA STRAWBERRY SHINE

Songfiction: Speechless